Sabtu, 02 Juni 2012

Keputusan sang Ayah.

pengarang : Unknown

Setelah beberapa lagu pujian seperti biasanya pada hari minggu, pembicara gereja bangkit berdiri dan perlahan-lahan berjalan menuju mimbar untuk berkhotbah. 


"Seorang ayah dan anaknya serta teman anaknya pergi berlayar ke samudra Pasifik", dia memulai, "ketika dengan cepat badai mendekat dan menghalangi jalan untuk kembali ke darat. Ombak sangat tinggi, sehingga meskipun sang ayah seorang pelaut berpengalaman, ia tidak dapat lagi mengendalikan perahu sehingga mereka bertiga terlempar ke lautan." 


Pengkotbah berhenti sejenak, dan memandang mata dua orang remaja yang mendengarkan cerita tersebut dengan penuh perhatian. Dia melanjutkan, "Dengan menggenggam tali penyelamat, sang ayah harus membuat keputusan yang sangat sulit dalam hidupnya....kepada anak yang mana akan dilemparkannya tali penyelamat itu. Dia hanya punya beberapa detik untuk membuat keputusan. 


Sang ayah tahu bahwa anaknya adalah seorang pengikut Kristus, dan dia juga tahu bahwa teman anaknya bukan. Pergumulan yang menyertai proses pengambilan keputusan ini tidaklah dapat dibandingkan dengan gelombang ombak yang ganas. Ketika sang ayah berteriak, "Aku mengasihi engkau, anakku!" dia melemparkan tali itu kepada teman anaknya. Pada waktu dia menarik teman anaknya itu ke sisi perahu, anaknya telah menghilang hanyut ditelan gelombang dalam kegelapan malam. Tubuhnya tidak pernah ditemukan lagi." 


Ketika itu, dua orang remaja yang duduk di depan, menantikan kata-kata berikut yang keluar dari mulut sang pembicara. "Sang ayah," si pembicara melanjutkan ,"tahu bahwa anaknya akan masuk dalam kekekalan dan diselamatkan oleh Yesus, dan dia tidak sanggup membayangkan jika teman anaknya melangkah dalam kekekalan tanpa Yesus. Karena itu dia mengorbankan anaknya sendiri. Betapa besar kasih Allah, sehingga Ia melakukan hal yang sama kepada kita." Sang pembicara kembali ke tempat duduknya sementara keheningan memenuhi ruangan. 


Beberapa saat kemudian, dua orang remaja duduk di sisi pembicara. "Cerita yang menarik," seorang remaja memulai pembicaraan dengan sopan, "tapi saya pikir tidaklah realistis bagi sang ayah untuk mengorbankan hidup anaknya hanya dengan berharap bahwa teman anaknya akan menjadi seorang pengikut Kristus." 


"Benar, engkau benar sekali," jawab pembicara. Sebuah senyum lebar menghiasi wajahnya dan kemudian di memandang kedua remaja tersebut dan berkata, "Tentu saja itu tidak realistis bukan ? Tapi saya ada di sini untuk memberitahu kalian bahwa cerita itu membuka mataku tentang apa yang sesungguhnya terjadi ketika Tuhan memberikan AnakNya untuk saya."Engkau tahu ... sayalah teman sang anak itu".

Sometimes.......



Author: Unknown

Sometimes I ask the question here, "My Lord, is this Your will?“
It's then I hear You answer me, "My Precious Child, be still.“

Sometimes I feel frustrated ‘coz I think I know what's best.
It's then I hear You say to me, “My busy Child, just rest.“

Sometimes I feel so lonely, and I think I'd like a mate.
Your still small voice gets oh so clear and says, "My Child, please wait."

"I know the plans I have for you, the wondrous things you'll see.
If you can just be patient, Child, and put your trust in Me.

I've plans to draw you closer here, I've plans to help you grow.
There's much I do you cannot see, and much you do not know.

But know this, Child.. I Love You So! You're precious unto Me!
Before I formed you in the womb, I've planned your destiny.

I've something very special, I hope for you to learn.
The gifts I wish to give to you are gifts you cannot earn.

They come without a price tag, but not without a cost.
At Calvary, I gave My Son, so you would not be lost.

Rest My Child, don't grow weary of doing what is good.
I promise I'll come back for you just like I said I would.

Your name is written on My palm, I never could forget.
Therefore do not be discouraged when My answer is 'Not Yet'."

{source : Komunitas}

Senin, 12 Maret 2012

RancanganNYA selalu indah


Kesaksian Pemeliharaan Tuhan


Ada seorang ibu yang hidupnya dari berjualan tempe yang dibuatnya sendiri.  Ibu ini tinggal di sebuah desa di daerah Jawa Tengah.


Setiap hari Ibu ini melakukan aktifitasnya seperti biasanya, yaitu bangun pagi-pagi dia terlebih dahulu bersekutu dengan Tuhan, berdoa, membaca Alkitab dan setelah itu dia mengurus pekerjaannya di dapur dan berangkat ke pasar menjual tempe yang telah di buatnya.


Ibu ini hidup dengan sederhana, tapi sebagai seorang anak Tuhan ia selalu mengucap syukur dengan apa yang Tuhan berikan kepadanya. Dalam kesederhanaannya, ia selalu percaya bahwa Tuhan Yesus selalu memeliharanya.


Sesuatu Yang Lain


Pada suatu hari seperti biasanya, ibu ini bangun pagi dan seperti kebiasaannya ia bangun dan membaca Alkitabnya, berdoa dan setelah itu ia ke dapur untuk mempersiapkan tempe yang akan di jualnya hari itu.


Tapi pada saat ia akan mengambil tempe yang telah dibuat sehari sebelumnya, betapa kagetnya begitu ia membuka tutup wadah tempe buatannya…… “Waduh….tempeku belum jadi….. masih berupa kedelai…Oh tidak” Kata ibu ini mengeluh.


“Wah bisa nggak makan aku hari ini kalau nggak ada tempe yang bisa aku jual hari ini…… bagaimana ini” Kepanikan ibu ini mulai muncul.


“Oh mungkin aku kurang berdoa sehingga masalah ini terjadi padaku hari ini” kata ibu ini dalam hatinya.


Ia duduk sebentar, menarik napas panjang dan mulai berpikir ” Apa yang menyebabkan ini terjadi  padaku ya ? Apa aku sudah berbuat dosa atau ada sesuatu yang lain sehingga hal ini bisa terjadi?”


Ibu ini terus berpikir sedemikian rupa, menganalisa barangkali dia berbuat dosa, sehingga masalah yang belum pernah terjadi, kini terjadi di hari tersebut. Sampai ia mengambil keputusan untuk berdoa.


“Tuhan” Ibu ini mulai doanya.


“Kalau ada dosa, ampuni aku. Aku percaya Engkau sanggup buat mujizat. Engkau tau bahwa kebutuhan hidupku tercukupi dari aku berjualan tempe ini. Jadi aku percaya Engkau pasti tolong aku. Sekarang ya Tuhan tolong ubah kedelai ini menjadi tempe seperti Engkau pernah mengubah air menjadi anggur” Doa ibu ini dengan sungguh-sungguh.


“Dan sekarang aku berkata kepada kedelai ini, Dalam nama Tuhan Yesus, aku perintahkan engkau berubah menjadi Tempe !” Perintah ibu ini.


Ibu ini sering melihat bagaimana pendeta di gerejanya berdoa dan bagaimana ia belajar Alkitab di gerejanya yang mengajarkan bagaimana anak Tuhan diberi otoritas oleh Tuhan. Karena itulah ia belajar mempraktekkannya hari itu.


Apa Yang Terjadi ?


Ibu ini setengah ragu ragu mulai membuka penutup wadah tempat biasanya ia membuat tempe tersebut. dan….. ( apakah menurut saudara tempe itu sudah jadi?)………………………………………….


Ternyata tempe tersebut belum jadi……… masih seperti sebelumnya berupa tempe setengah jadi.


“Waduh… ya Tuhanku ternyata belum berubah” kata ibu ini setengah berputus asa.


“Oh… mungkin aku kurang beriman” Ibu ini mulai menganalisa keadaan tersebut.


“Sekarang aku harus lebih percaya lagi” Kata ibu ini sambil mempersiapkan imannya ….(Mungkin setengah dipaksa dirinya untuk percaya bahwa itu bisa terjadi).


“Dalam Nama Yesus……..Aku berkata kepada kedelai ini….. Berubahlah engkau menjadi Tempe yang terbaik” Perintah ibu ini kepada tempe yang belum jadi tersebut sambil menumpangkan tangannya ke atas penutup wadah tempe tersebut dengan penuh keyakinan. (Nah…..sekarang , menurut saudara ….apakah kedelai sudah berubah menjadi tempe ?)


Terus……..


Kembali bu ini meyakinkan dirinya sebelum membuka penutup wadah tempe tersebut. Dan…………………………..


“Hah…..” Ibu ini menghela napas panjang kembali…….


Ternyata kedelai tersebut masih tetaplah kedelai dan tidak ada perubahan apapun. Ibu ini duduk lemas tak berdaya dalam keresahannya dan kebingungannya.


“Ya Tuhan…. aku harus berbuat apa? Mengapa hal ini bisa terjadi padaku. Aku nggak punya uang cukup untuk makan kalau hari ini aku tidak berjualan tempe. Aku sudah mempraktekkan FirmanMu dengan iman sekalupun….. tapi Tuhan…..kenapa Engkau tidak buat Mukjizat. Apa Tidak ada mukjizat lagi di jaman sekarang?” kata ibu ini dalam hatinya yang semakin resah dan bingung berkecamuk menjadi satu.


“oh…mungkin aku harus melangkah dengan iman” Pikir ibu ini kemudian.


“ya…..benar….aku harus melangkah dengan iman dan menjual tempe belum jadi ini ke pasar…. pasti Tuhan buat mukjizat dalam perjalanan. Bukankah aku haru melangkah dengan iman untuk bisa terciptanya mukjizat. Bukankah itu yang dikatakan di Alkitab?…. ya … aku harus berangkat ke pasar sekarang!”


Kemudian ibu ini mengambil tempe belum jadi ini dan memasukkannya ke dalam keranjang pikulannya dan memondongnya ke punggungnya dan bersiap berangkat ke pasar.


“Tuhan……. aku sudah melangkah dengan iman sekarang dan aku percaya Engkau pasti buat mukjizat sekarang” Doa ibu  ini


Di perjalanan, ibu ini menyanyi lagu pujian untuk membangkitkan imannya dan belajar mempercayai Firman Tuhan.


“…….Bukan karena kekuatan…..namun RohMu ya Tuhan……Ketika ku percaya …Mukjizat itu nyata” Lagu “Mukjizat itu Nyata” dilantunkan ibu ini terus  sambil melangkah ke pasar.


Setibanya di pasar,  teman-teman seprofesinya bingung karena ibu ini tiba di pasar kesiangan…. “Ya… ada keperluan” Kata ibu ini menjawab teman-temannya yang menanyakan sebabnya kesiangan tiba di pasar. padahal dalam hatinya berkata ” Yah…. ini gara-gara bergumul denga tempe dan kedelai”


Ibu ini menurunkan barang dagannya yang masih tertutup kain tersebut, sambil menoleh ke dagangan tempe teman-temanya yang sudah mulai habis, sedangkan dia sendiri belum berjualan karena kesiangan hari itu.


“Sekarang aku harus melihat bagaimana Tuhan sudah merubah kedelai ini jadi tempe” kata ibu ini dalam hatinya.


Dengan perlahan sekali dia berusha mngintip di balik keranjangnya dengan harapan kedelai sudah berubah menjadi tempe. (Sekarang menurut saudara bagaimana ….. Apa ada Mukjizat terjadi untuk ibu ini?)


Yang terjadi berikutnya……


“Wah…. kok belum jadi juga” ibu ini mengeluh dan terduduk di lapaknya di pasar tersebut…. lemas….putus asa


“Ya Tuhan aku berserah kepadaMu sekarang….. Apa yang Kau kehendaki biarlah terjadi padaku” Doa ibu ini perlahan hampir menangis.


Tuhan Tau yang Terbaik untukmu


Tidak lama kemudian……. ibu ini melihat ada seorang ibu paruh baya yang berjalan seolah mencari sesuatu dari suatu lapak ke lapak lainnya hendak membeli sesuatu tapi tidak mendapat apa yang mau dibelinya.


Sampai ibu paruh baya tersebut berhenti di lapak ibu penjual tempe tersebut.


“Ibu mencari apa…kok saya perhatikan mencari sesuatu tapi tidak mendapat apa yang ibu mau beli” Kata ibu penjual tempe tersebut.


“ehmmm… saya cari tempe yang setengah jadi, bu…. itu loh… tempe yang masih belum jadi tempe tapi masih kededai yang mau jadi tempe…. saya sudah keliling ke seluruh penjual tempe di pasar ini tapi nggak ada yang jualan tempe setengah jadi ” kata ibu tersebut.


Sontak…..ibu penjual tempe tersebut kaget…”untuk apa bu…..kok cari tempe yang belum jadi”


” itu loh bu… anak saya yang tinggal di Jakarta, lagi ngidam hamil muda dan ngidamnya itu kepingin tempe dari desa asalnya ini…. lha kalau saya paketkan tempe ini ke Jakarta dan tiba di anak saya 2 hari lagi  ya tempe tersebut sudah nggak enak lagi. Jadi supaya pas…kan saya harus cari tempe yang belum jadi. supaya kalau tiba di rumah anak saya 2 hari lagi…..pas matangnya tempe  tersbut dan enak kalau dimakan”


Langsung ibu penjual tempe ini tanpa sengaja berteriak “HALLELUYAAA”


begitu bahagianya dia………”Oh ada bu…ada…. ibu perlu berapa potong?”


“Wah saya borong semua deh berapa yang ibu punya” kata ibu paruh baya tersebut.


…………….”ieit…eit tunggu dulu………….Jangan-jangan Tuhan sudah ubah kedelai ini jadi tempe….. wah bisa batal ini tempe laku” kata ibu ini dalam hatinya. (Berapa banyak dari  kita sering meragukan Tuhan seperti ibu ini yang mengira Tuhan salah waktu untuk buat mukjizat, sehingga dagangannya nggak jadi laku, tender jadi batal dan sebagainya)


Ibu penjual tempe ini membuka penutup dagangannya perlahan hendak melihat apa tempe yang belum jadi itu masih belum berubah.


“hah…. puji Tuhan…. masih berupa tempe belum jadi” kata ibu ini dalam hatinya.


“Terima kasih ya Tuhan Engkau ternyata punya jalan keluar dalam setiap masalahku dan selalu memperhatikan aku…… Terima kasih ya Tuhan” Doa ibu ini menangis bahagia karena Tuhan sudah menolongnya.


Saudara, seperti kesaksian ibu penjual tempe tersebut di atas, bukankah kita sering berlaku demikian? Tapi satu pelajaran dapat kita tarik bahwa Tuhan sanggup buat Mukjizat dan sanggup buat jalan keluar untuk kita tepat pada waktunya. Sering apa yang kita minta tidak diberikan Tuhan, tapi Kita harus tetap percaya bahwa Tuhan berikan yang terbaik untuk kita. Amin.

Bapa Sentuh Hatiku


Dibalik Lirik Lagu Bapa Sentuh Hatiku


Mungkin banyak yang dengar lagu sentuh hatiku, yang dinyanyikan oleh Maria Shandy. Akan tetapi dibalik lagu itu ternyata ada sebuah kisah yang luar biasa.


Pencipta lagu ini adalah seorang anak Tuhan, Kisah didalam lagu itu adalah milik teman sekolahnya. Temannya itu diperkosa oleh ayahnya sendiri dan menjadi gila, sehingga harus dipasung(dirantai) dirumahnya. Ia suka datang dan mendoakan anak
itu sambil sesekali menulis lirik lagu..


waktu pun berlalu…


Diapun pindah kota dan mulai sibuk dengan kegiatannya sendiri. Suatu ketika anak perempuan itu menelpon dia. Tentu saja kaget bukan main, karena anak itu kan gila. Dipasung pula? kok sekarang bisa lepas? telpon pula?


Akhirnya anak perempuan itu cerita, suatu hari entah karena karat atau bagaimana rantainya lepas. Satu hal yang langsung dia ingat, dia mau bunuh ayahnya!


Tetapi saat dia bangun, ia melihat Tuhan Yesus dengan jubah putihnya, berkata : “Kamu harus memaafkan ayah kamu.”


Tetapi anak itu tidak bisa dan dia terus menangis, memukul, dan berteriak..


Sampai akhirnya Tuhan memeluk dia dan berkata : “Aku mengasihimu”


Walaupun bergumul akhirnya anak itupun memaafkan ayahnya, mereka sekeluarga menangis dan boleh kembali hidup normal.


Dari situ lah lagu sentuh hatiku ditulis,


Betapa ku mencintai, segala yang telah terjadi
tak pernah sendiri, selalu menyertai
Betapa kumenyadari, didalam hidupku ini..
kau selalu memberi, rancangan terbaik oleh karena kasih


Bapa sentuh hatiku,
ubah hidupku, menjadi yang baru
Bagai Emas yang murni
Kau membentuk bejana hatiku


Bapa Ajarku mengerti
sebuah kasih yang selalu memberi..
Bagai air mengalir
yang tiada pernah berhenti


KasihMu ya Tuhan tak pernah berhenti..


Kisah diatas sungguh-sungguh terjadi, semoga bisa menginspirasi kita agar bisa merasakan kasih Tuhan yang luar biasa. God Bless You all

Mata Juling Yang Disembuhkan


By. RW Schambach


Kami mendirikan tenda di Sacramento, California dan bersiap menyelenggarakan kebaktian siang. Seorang wanita membawa anaknya yang juling untuk di doakan. Saya melihatnya menangis di belakang maka saya menghampirinya dan berkata, “Ada masalah apa?”


“Oh”, ia berkata,”Saya membawa putri saya yang juling sejak lahir. Saya datang dari San Fransisco untuk mendapatkan kartu doa tetapi anda tidak menyelenggarakan kebaktian di sana. Saya telah melakukan perjalanan ratusan mil. Apa yang harus saya lakukan? Saya tahu jika saya membawanya ke tenda kebaktian, matanya akan sembuh.”


Saya bertanya, “Dimana putri anda?”


Ibu itu terisak-isak, membungkuk ke arah gadis kecil di dekatnya. “Ini dia.” Saya berlutut dan memandang tepat di wajah gadis itu dan melihat 2 buah matanya yang normal.


Saya berkata’” Anda yakin bahwa ini putri anda?”


“Tentu saja saya mengenal putri saya sendiri,” Jawabnya.


Saya berkata, “Menurut anda matanya juling.”


Ibu itu berlutut dan memandang kedua mata putrinya.


Tak seorangpun menumpangkan tangan. Ia tidak membutuhkan selembar kartu doapun. Ia memeluknya erat-erat dan berlari keluar tenda. Tuhan telah menunjukkan mukjizatNya. Kapankah Tuhan melakukannya? Allah melakukannya ketika ibu itu menyatakan imannya. Saya mendengarnya berkata,” Saya tahu bahwa jika saya membawa gadis itu ke dalam tenda…” Saya percaya pada saat itulah bahwa pada saat ia melangkah ke dalam tenda, mata yang juling itu menjadi normal karena TUHAN menghormati imannya.


Diterjemahkan dari buku : MIRACLES

Masih Ada Mukjizat Hari Ini

Banyak orang mulai meragukan adanya mukjizat hari-hari ini, tetapi dengar bahwa Tuhan Yesus masih tetap sama, kalau dahulu Dia buat mukjizat, sekarangpun Dia tetap buat mukjizat untuk anda dan saya hari ini. Dibawah ini adalah kesaksian dari seorang gadis yang telah divonis dokter mati karena sakitnya. Selamat membaca……

Seorang gadis berusia 17 tahun di kota New York terbaring sekarat oleh penyakit TBC. Separuh paru-parunya sudah rusak. Separuh yang lain telah diangkat. Ia membutuhkan bantuan tabung oksigen.

Ia menghadiri sebuah gereja denominasi tertentu. Jemaat di gereja itu mengasihi Tuhan dan telah diselamatkan. Walaupun demikian, mereka tidak percaya akan terjadinya kesembuhan ilahi. Tentu saja, kesembuhan ilahi tidak menjadikan kita orang-orang Kristen. Darah Yesuslah yang menjadikan kita kudus dan berkenan di hadapan Allah, karena pengorbanan Kristus di kayu salib.

Gadis muda ini sekarat. Dokternya yang adalah orang Kristen berkata,”Anda akan mati dan kami tidak bisa berbuat apa-apa.

Tuberkulosis telah merayap masuk. Satu paru-parunya telah dangkat dan separuh lainnya juga telah diangkat. Saya akan mengirim anda pulang supaya anda bisa memanfaatkan waktu yang tersisa bersama keluarga”.

Gadis itu meghirup oksigen murni. Ia terbaring di tenda khusus oksigen menantikan maut usianya 17 tahun dan berat badannya telah turun hngga hampir separuhnya. Ia seorang gadis muda yang menyenangkan, tetapi katakan kepada saya bahwa Tuhan melakukan hal demikian kepada umatNya. Saya tidak akan melayani Tuhan yang melakukan hal seperti itu. Tuhan adalah tetap Tuhan yang baik.

RancanganNya bukan lah sakit penyakit.

“Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan”. (Yoh 10:10)

Dokter mengirim gadis itu pulang untuk menantikan ajalnya. Ia terbaring dengan posisi kepala menengadah supaya ia dapat membaca Alkitab. Gadis itu menyerah pada kenyataan bahwa ia akan mati. Itulah ajaran yang diterimanya. Logika terkadang lebih nyata dari apa yang tidak terlihat. Gadis itu terbaring dengan posisi demikian dan membaca surat Petrus 1Petrus 2:24. Ketika membacanya, ia meletakkan Alkitabnya dan mulai memuji Tuhan.

Dengan menangis, ia berkata :”Tuhan, aku senang sekali akan berjumpa dengan Mu, aku tahu bahwa aku akan mati. Para dokter tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Tetapi aku bersyukur karena Engkau telah menyelamatkan aku. Terima kasih karena Engkau telah membasuh dosaku dengan DarahMu”. Ia menyembah dan bersyukur pada Tuhan atas keselamatan dariNya dan kembali membaca ayat yang sama yang baru dibacanya dari Alkitabnya.

“Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuhNya di kayu salib supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup oleh kebenaran…….” Tetapi kali ini ia tidak berhenti sampai disana. Ia melanjutkan membaca di ayat yang sama, “….oleh bilur-bilurNya kamu telah sembuh”.

Kata-kata itu menjadi terang seperti lampu neon. Ia berkata,”Oh, lihat apa yang aku dapatkan”. Tidak ada pengkotbah yang mengkotbahi dia. Tak ada siapapun bersama dia kecuali Firman Allah. Ia kemudian berkata,”Tuhan Yesus, aku baru saja selesai memujimu untuk bagian pertama dan aku akan memujiMu untuk bagian yang kedua. Engkau telah menyembuhkan aku….. Oh Yesus, maafkan aku tidak akan bertemu denganMu sekarang. Aku berencana untuk tinggal lebih lama lagi di dunia ini, karena Engkau sendiri telah menyembuhkanku”.

Bukankah itu sebuah iman yang indah? Halleluyah!”Aku tidak akan datang  seperti yang telah kurencanakan,” katanya. “Aku

berubah pikiran, karena aku baru saja menemukan beberapa kebenaran -  dan kebenaran itulah yang akan memerdekakan kita”.

Iapun mulai memuji Tuhan untuk “KESEHATAN YANG SEMPURNA”.

Tidak ada sesuatu yang berubah. Kemudian ia melepaskan tabung oksigennya dan berteriak pada ibunya “Mama cepatlah kemari!”

Ibunya mengira itulah hari terakhir ia melihat putri satu-satunya. Segera ia memanjat tangga dengan tersandung-sandung “Ada apa sayang?”

“Oh mama lihat apa yang telah aku temukan. Bacalah ini” Ibunya bergumam membaca Firman itu, kemudian berkata”Aku membacanya, ekarang berbaringlah dan pakai lagi masker oksigennya”
Putrinya berkata,” Mama tidak membaca dengan benar. Mama, tertulis disitu bahwa aku telah disembuhkan. Dua ribu tahun yanglalu Tuhan Yesus telah menyembuhkan aku”.

Ibu itu memandangi putrinya dan menangis dia merenungkan apa yang  dikatakan dokter “Biasanya dimana pada hari engkau akan mati, engkau akan kehilangan akal sehatmu, berhalusinasi dan sebagainya”.

Saudara, bukankah aneh dunia ini, justru pada saat anda mempercayai adanya mukjizat, maka anda dianggap aneh. tetapi sebaliknya saat anda mempercayai akan mati karena kesakitan, anda dianggap normal.

Kemudian gadis itu berkata,” Mama, aku tidak akan mati, jadi tolong buatkan aku sarapan, aku ingin sekali makan roti bakar dan kopi”.
Ibu berkata,” Aku tahu engkau mulai kehilangan akal sehatmu, sayang…. engkau sudah tidak makan apa-apa sejak 10 bulan yang lalu”.

Tetapi gadi belia ini berkata ” Selama 10 bulan aku tidak mendengar kebenaran dahsyat ini. sekarang, mama…. tolong turunlah ke bawah dan buatkan aku sarapan…. aku lapar”.

Ibu gadis itu memasukkan dia kembali kedalam tenda oksigen dan kemudian menyelinap keluar dengan perasaan hancur melihat

anaknya mulai berhalusinasi dalam pikirannya. Begitu ibu ini keluar, maka gadis ini mulai membuka resliting tenda oksigennya, turun dari ranjang, membuka lemari pakaiannya dan mulai berganti baju. Gaun yang dipilihnya bagaikan “jubah”ketika dipakainya. Ya, karena berat badannya hilang hampir separuhnya. Ia kemudian berjalan terhuyung-huyung meuruni tangga dan berjalan ke dapur.

“Mama, apakah sarapanku sudah siap?” Ia duduk untuk makan pagi dan berkata ‘” Tuhan berkati makanan ini untuk tubuhku yang baru ini. Aku tahu aku tidak akan mati, tetapi aku akan tetap hidup”.

Sekilas, tidak terjadi perubahan apapun pada gadis ini…..Tubuhnya tetap kurus kering, badannya masih sama….lemah. Dengan mata telanjang, sekilas Tuhan tidak buat apapun.

Keesokan harinya ia pergi menemui dokternya. Hasil pemeriksaan sinar X menunjukkan bahwa ia memiliki sepasang paru-paru baru dan tidak ditemukan adanya tanda-tanda bekas TBC sama sekali!!! Dia menjadi kuat karena telah mendengar kebenaran. Ya…. Gadis muda ini telah menjadi sembuh Total!!!

Gadis muda ini benar-benar sembuh, dari paru paru yang hanya bekerja seperempatnya menjadi pulih sempurna dengan adanya sepasang paru-paru yang baru! Orang dnia katakan ini adalah mustahil, tapi “Bukankah Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan kita?

Tidak ada yang mustahil bagi orang percaya!”

Saudaraku saat engkau membaca kesaksian di atas dan mungki keadaanmu juga tidak baik hari ini, tapi dengar, bahwa selalu ada kesempatan engkau mengalami mukjizat hari ini. Tuhan memberkati

Sumber kesaksian : Miracles

Cerita Mengharukan Di Hari Natal

Cerita mengharukan di bawah ini mengingatkan kita untuk semakin dan mencintai lebih dalam kepada Tuhan.

Diambil dari cerita nyata………

Ada seorang bocah kelas 4 SD di suatu daerah di Milaor Camarine Sur, Filipina, yang setiap hari mengambil rute melintasi daerah tanah yang berbatuan dan menyeberangi jalan raya yang berbahaya dimana banyak kendaraan yang melaju kencang dan tidak beraturan.

Setiap kali berhasil menyebrangi jalan raya tersebut, bocah ini mampir sebentar ke Gereja tiap pagi hanya untuk menyapa Tuhan, sahabatnya. Tindakannya ini selama ini diamati oleh seorang Pendeta yang merasa terharu menjumpai sikap bocah yang lugu dan beriman tersebut. “Bagaimana kabarmu, Andy? Apakah kamu akan ke Sekolah?”

“Ya, Bapa Pendeta!” balas Andy dengan senyumnya yang menyentuh hati Pendeta tersebut. Dia begitu memperhatikan keselamatan Andy sehingga suatu hari dia berkata kepada bocah tersebut, “Jangan menyebrang jalan raya sendirian, setiap kali pulang sekolah, kamu boleh mampir ke Gereja dan saya akan memastikan kamu pulang ke rumah dengan selamat.”

“Terima kasih, Bapa Pendeta.” “Kenapa kamu tidak pulang sekarang? Apakah kamu tinggal di Gereja setelah pulang sekolah?” “Aku hanya ingin menyapa kepada Tuhan.. sahabatku.”

Dan Pendeta tersebut meninggalkan Andy untuk melewatkan waktunya di depan altar berbicara sendiri, tetapi pastur tersebut bersembunyi di balik altar untuk mendengarkan apa yang dibicarakan Andy kepada Bapa di Surga.

“Engkau tahu Tuhan, ujian matematikaku hari ini sangat buruk, tetapi aku tidak mencontek walaupun temanku melakukannya. Aku makan satu kue dan minum airku. Ayahku mengalami musim paceklik dan yang bisa kumakan hanya kue ini. Terima kasih buat kue ini, Tuhan! Tadi aku melihat anak kucing malang yang kelaparan dan aku memberikan kueku yang terakhir buatnya.. lucunya, aku jadi tidak begitu lapar. Lihat ini selopku yang terakhir. Aku mungkin harus berjalan tanpa sepatu minggu depan.Engkau tahu sepatu ini akan rusak, tapi tidak apa-apa……. paling tidak aku tetap dapatpergi ke sekolah. Orang-orang berbicara bahwa kami akan mengalami musim panen yang susah bulan ini, bahkan beberapa dari temanku sudah berhenti sekolah, tolong Bantu mereka supaya bisa bersekolah lagi. Tolong Tuhan.

Oh, ya..Engkau tahu kalau Ibu memukulku lagi. Ini memang menyakitkan, tapi aku tahu sakit ini akan hilang, paling tidak aku masih punya seorang Ibu. Tuhan, Engkau mau lihat lukaku??? Aku tahu Engkau dapat menyembuhkannya, disini..disini.aku rasa Engkau tahu yang ini kan….??? Tolong jangan marahi ibuku, ya…..?? dia hanya sedang lelah dan kuatir akan kebutuhan makan dan biaya sekolahku..itulah mengapa dia memukul aku.

Oh, Tuhan..aku rasa, aku sedang jatuh cinta saat ini. Ada seorang gadis yang sangat cantik dikelasku, namanya Anita. menurut Engkau, apakah dia akan menyukaiku??? Bagaimanapun juga paling tidak aku tahu Engkau tetap menyukaiku karena aku tidak usah menjadi siapapun hanya untuk menyenangkanMu. Engkau adalah sahabatku. Hei.ulang tahunMu tinggal dua hari lagi, apakah Engkau gembira??? Tunggu saja sampai Engkau lihat, aku punya hadiah untukMu. Tapi ini kejutan bagiMu. Aku berharap Engkau menyukainya. Oooops..aku harus pergi sekarang.” Kemudian Andy segera berdiri dan memanggil Pendeta .

“Bapa Pendeta..Bapa Pendeta..aku sudah selesai bicara dengan sahabatku, anda bisa menemaniku menyebrang jalan sekarang!” Kegiatan tersebut berlangsung setiaphari, Andy tidak pernah absen sekalipun. Pendeta Agaton berbagi cerita ini kepada jemaat di Gerejanya setiap hari Minggu karena dia belum pernah melihat suatu iman dan kepercayaan yang murni kepada Tuhan.. suatu pandangan positif dalam situasi yang negatif. Pada hari Natal, Pendeta Agaton jatuh sakit sehingga tidak bisa memimpin gereja dan dirawat di rumah sakit. Gereja tersebut diserahkan kepada 4 wanita tua yang tidak pernah tersenyum dan selalu menyalahkan segala sesuatu yang orang lain perbuat.

Mereka juga mengutuki orang yang menyinggung mereka. Ketika mereka sedang berdoa, Andypun tiba di Gereja tersebut usai menghadiri pesta Natal di sekolahnya, dan menyapa “Halo Tuhan..Aku..” “Kurang ajar kamu, bocah!!!tidakkah kamu lihat kalau kami sedang berdoa???!!! Keluar, kamu!!!!!” Andy begitu terkejut,”Dimana Bapa Pendeta Agaton..??Seharusnya dia membantuku menyeberangi jalan raya. dia selalu menyuruhku untuk mampir lewat pintu belakang Gereja. Tidak hanya itu, aku juga harus menyapa Tuhan Yesus, karena hari ini hari ulang tahunNya, akupun punya hadiah untukNya..”

Ketika Andy mau mengambil hadiah tersebut dari dalam bajunya, seorang dari keempat wanita itu menarik kerahnya dan mendorongnya keluar Gereja. “Keluar kamu, bocah!..kamu akan mendapatkannya!!!” Andy tidak punya pilihan lain kecuali sendirian menyebrangi jalan raya yang berbahaya tersebut di depan Gereja.

……Lalu dia menyeberang, tiba-tiba sebuah bus datang melaju dengan kencang – disitu ada tikungan yang tidak terlihat pandangan. Andy melindungi hadiah tersebut didalam saku bajunya, sehingga dia tidak melihat datangnya bus tersebut. Waktunya hanya sedikit untuk menghindar.dan Andypun tewas seketika……….

Orang-orang disekitarnya berlarian dan mengelilingi tubuh bocah malang tersebut yang sudah tidak bernyawa lagi. Tiba-tiba, entah muncul darimana ada seorang pria berjubah putih dengan wajah yang halus dan lembut, namun dengan penuh airmata dating dan memeluk bocah malang tersebut. Dia menangis.

Orang-orang penasaran dengan dirinya dan bertanya,”Maaf tuan..apakah anda keluarga dari bocah yang malang ini? Apakah anda mengenalnya?” Tetapi pria tersebut dengan hati yang berduka karena penderitaan yang begitu dalam berkata,”Dia adalah sahabatku.” Hanya itulah yang dikatakan. Dia mengambil bungkusan hadiah dari dalam saku baju bocah malang tersebut dan menaruhnya didadanya. Dia lalu berdiri dan membawa pergi tubuh bocah tersebut, kemudian keduanya menghilang. Orang-orang yang ada disekitar tersebut semakin penasaran dan takjub..

Di malam Natal, Pendeta Agaton menerima berita yang sangat mengejutkan. Diapun berkunjung ke rumah Andy untuk memastikan pria misterius berjubah putih tersebut. Pendeta itu bertemu dengan kedua orang tua Andy. “Bagaimana anda mengetahui putra anda telah meninggal?” “Seorang pria berjubah putih yang membawanya kemari.” Ucap ibu Andy terisak.

“Apa katanya?” Ayah Andy berkata,”Dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Dia sangat berduka. Kami tidak mengenalnya namun dia terlihat sangat kesepian atas meninggalnya Andy, sepertinya Dia begitu mengenal Andy dengan baik. Tapi ada suatu kedamaian yang sulit untuk dijelaskan mengenai dirinya. Dia menyerahkan anak kami dan tersenyum lembut. Dia menyibakkan rambut Andy dari wajahnya dan memberikan kecupan dikeningnya, kemudian Dia membisikkan sesuatu.

“Apa yang dikatakan?” “Dia berkata kepada putraku..” Ujar sang Ayah. “Terima kasih buat kadonya. Aku akan berjumpa denganmu. Engkau akan bersamaku.” Dan sang ayah melanjutkan, “Anda tahu kemudian semuanya itu terasa begitu indah.. aku menangis tapi tidak tahu mengapa bisa demikian. Yang aku tahu.aku menangis karena bahagia..aku tidak dapat menjelaskannya Bapa Pendeta, tetapi ketika dia meninggalkan kami, ada suatu kedamaian yang memenuhi hati kami, aku merasakan kasihnya yang begitu dalam di hatiku.. Aku tidak dapat melukiskan sukacita dalam hatiku. aku tahu, putraku sudah berada di Surga sekarang. Tapi tolong Bapa Pendeta .. Siapakah pria ini yang selalu bicara dengan putraku setiap hari di Gerejamu? Anda seharusnya mengetahui karena anda selalu di sana setiap hari, kecuali pada saat putraku meninggal.

Pendeta Agaton tiba-tiba merasa air matanya menetes dipipinya, dengan lutut gemetar dia berbisik,”Dia tidak berbicara kepada siapa-siapa… kecuali dengan Tuhan.”

source : AkuPercaya.com

——————————————-

Kisah yang luar biasa, mengingatkan kita untuk terus mengucap syukur kepada Tuhan, karena seringkali kita lupa Bahwa Tuhan slalu “Peduli” dengan kita, apapun keadaan kita hari ini…1 hal kita semua adalah sahabatnya jika kita mencintaiNya.

Mandikan Aku Mama


Aku punya teman  bernama Pita, seorang yang cerdas dan berprestasi dalam pekerjaannya. Pita terus mengejar impiannya hingga suatu saat ia mendapatkan seorang suami yang sama-sama berprestasi. Bertepatan dengan diangkatnya Pita menjadi staf diplomat dan selesainya suaminya meraih gelar doktor, lahirlah seorang anak laki-laki buah cinta mereka, Eka namanya. Pita semakin sibuk dengan pekerjaannya sedangkan Eka baru berumur 6 bulan.


Pita sangat sering meninggalkan Eka pergi dari satu kota ke kota lain, bahkan dari satu negara ke negara lain.  Aku pernah bertanya kepadanya, “Bukankah Eka masih terlalu kecil untuk ditinggalkan ?” “Tidak, aku sudah mempersiapkan segalanya dan semua pasti berjalan baik”, jawab Pita. Di bawah perawatan baby-sitter dan pengawasan kakek-neneknya, Eka tumbuh menjadi anak yang cerdas dan lincah. Kakek neneknya tidak pernah lupa menceritakan kepada Eka akan kehebatan kedua orang tuanya yang telah menjadi kebanggaan mereka semua.


Meskipun kedua orang tuanya begitu sibuk, namun Eka bisa memahami kesibukan mereka. Suatu hari, Eka pernah meminta seorang adik kepada kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya menjelaskan tentang kesibukan mereka yang belum memungkinkan untuk memberikan Eka seorang adik. Kali ini, Eka lagi-lagi mengerti kondisi orang tuanya. Karena sikap Eka yang begitu pengertian dan dewasa, Pita menyebutnya “malaikat kecil”. Meskipun kedua orang tuanya sering pulang larut malam, namun Eka tetap bersikap manis dan tidak ngambek. Karena kemanisan sikap Eka, aku pernah mengimpikan seorang anak sepertinya.


Pagi yang cerah di hari itu, entah kenapa Eka tidak mau dimandikan oleh baby sitternya. “Eka ingin mama yang memandikan”, katanya. Pita yang setiap hari berpacu dengan waktu tentu saja menjadi gusar. Eka mengajukan permohonan yang sama selama kurang lebih seminggu, tetapi Pita dan suaminya tidak begitu peduli. “Mungkin ia sedang dalam masa peralihan sehingga ia minta perhatian yang lebih”, pikir mereka. Sampai suatu sore, aku dikejutkan oleh telepon Ida, sang baby sitter. Ada kepanikan di dalam suaranya, “Bu dokter, Eka sakit demam dan kejang-kejang. Sekarang ia di UGD”. Tanpa pikir panjang aku langsung menuju UGD, tetapi semua sudah terlambat. Tuhan telah memanggil Eka, malaikat kecil yang lincah, pintar dan pengertian.


Saat kejadian, mamanya sedang meresmikan kantor barunya. Dalam keadaan terpukul, Pita pulang ke rumah dan satu-satunya yang ingin ia lakukan adalah memandikan malaikat kecilnya Eka. Keinginan untuk memandikan Eka memang tercapai, walau dalam keadaan tubuh yang terbujur kaku. Ia memandikan Eka diiringi deraian air mata dan rintihan pedih, “Ini mama sayang … mama yang memandikan Eka”. Tubuh kecil Eka telah tertimbun tanah, tetapi kami masih berdiri membisu disana. Aku membiarkan Pita mengucapkan kata-kata yang bisa menghibur dirinya sendiri atas kepergian Eka-nya.


Hening sejenak, sebelum Pita akhirnya tertunduk, “Bangun Eka, mama mau mandikan Eka, berikan mama kesempatan sekali lagi, Ka …” Rintihan itu begitu menyayat kalbu, tapi semua sudah terlanjur. Penyesalan selalu datang terlambat dan kesempatan yang sama tidak akan pernah terulang. Nyatakanlah perhatian dan kasih kepada orang-orang yang kita kasihi, selama masih ada kesempatan. Kita bisa mencari waktu lain untuk berkarier dan berusaha, tetapi orang-orang yang kita kasihi tidak selamanya bisa bersama kita.


Siapa yang tahu berapa lama seseorang hidup di dunia ini ? Itu adalah misteri ilahi. Berbuat baik dan nyatakanlah kasih selama masih ada kesempatan, itulah perintah Tuhan.

Kisah nyata tentang kehidupan gadis kecil yang bernama Olivia.


Pengantar Redaksi: Dalam terbitan /Warta RC  dimuat suatu ucapan belasungkawa atas berpulangnya Olivia Laurencia, 10 tahun, keponakan dari Jelly Lim, anggota Dewan Paroki Regina Caeli. Banyak Warga RC yang menyempatkan diri melayat di rumah duka ikut menitikkan air mata tapi sekaligus diteguhkan iman mereka mendengar kisah hidup Olivia yang berjuang melawan penyakitnya sejak usia satu setengah tahun. Berikut adalah kesaksian yang ditulis oleh salah seorang kerabatnya. Semoga kesaksian ini membawa kita pada permenungan yang mendalam tentang makna hidup kita masing-masing.


Tiga Juli 1999, tangis bayi memecah kesunyian. Sang bayi mungil lahir ke dunia membawa kebahagiaan bagi pasangan Jimmy dan Aiwan. Kulit putih kemerah-merahan, mata yang sungguh indah, bahkan ia memiliki bobot tubuh yang cukup besar dibandingkan ukuran normal bayi yang baru lahir. Semua orang yang melihat memuji sang bayi cantik yang kemudian diberi nama Olivia Laurencia dengan nama kecil Ping Ping ini. Yah, ini adalah mahakarya yang sungguh indah dari Tuhan bagi keluarga muda itu.


Sang bayi mungil tumbuh cepat dan makin cantik dari waktu ke waktu. Babak baru kehidupannya dimulai ketika umur satu setengah tahun. Saat anggota keluarga yang lain melihat adanya kelainan penglihatan pada Oliv kecil, segera mereka memeriksakannya ke dokter. Bagaikan disambar petir mereka harus menerima kenyataan bahwa Olivia divonis menderita kanker mata, atau istilah kedokterannya penyakit /Retina Blastoma/. “Biasanya untuk penyakit begini umurnya paling sekitar 2 tahun lagi,” demikian kata sang dokter yang terus terngiang-ngiang di ingatan orangtuanya.


Bergelut dengan Pengobatan


Berbagai pengobatan mulai dijalani, bahkan pengobatan sampai ke luar negeri. Dokter menyarankan agar bola mata kiri yang terkena kanker segera diangkat. Namun sang papa bersikeras untuk tidak mengambil jalan itu. “Dia seorang anak gadis, bagaimana dia menghadapi hidupnya kelak dengan mata palsunya. Jalan ini juga tidak bisa menjamin 100% sel kanker itu hilang begitu saja. Mata dia sungguh indah, semua orang juga mengakuinya,” berontak sang papa. Akhirnya dipakailah cara /kemotherapy/ untuk mematikan sel-sel kanker yang telah tumbuh itu. Saat sang putri kesayangan teriak menahan sakit yang dideritanya, sang papa tidak kuat menerima kenyataan itu bahkan ia membenturkan kepalanya sendiri ke dinding.


Menurut pengakuannya meski sudah dibaptis dan menjadi pengikut Kristus, Jimmy dan Aiwan belum menjadi pengikut Kristus yang sesungguhnya. Untuk pergi ke gereja pun kadang masih agak ogah-ogahan. Tepatnya hanya menjadi umat yang biasa-biasa saja. Dalam mimpinya suatu malam Jimmy didatangi oleh malaikat yang membawa sebuah maklumat berisi hanya satu kata ‘BAPTIS’. Setelah menceritakan kepada saudaranya, saudaranya itu memberikan masukan “baptis berarti kamu mesti bertobat!”. Sambil tetap menjalani pengobatan, kondisi Olivia mengantar papa dan mamanya lebih rajin dalam berdoa dan mengikuti persekutuan. Mereka lebih berpasrah dan menyerahkan sepenuhnya kepada kehendak Bapa. Mereka bertumbuh dalam iman di tengah penyakit yang diderita Olivia.


Di sela-sela kesibukan mengurusi pengobatan Olivia, Allah mendatangkan penghibur di keluarga ini. Seorang anak pemberian Tuhan hadir di tengah mereka. Sang adik kecil itu kemudian diberi nama Yohanes Natanael. Setidaknya ini adalah suatu penghiburan di tengah kesedihan mereka.


Olivia sempat menjalani dua kali /kemotherapy /yang membuat kondisi fisiknya /drop./ Saat ia /drop/ dan trombosit dalam tubuhnya turun, sang papa dan pamannya dengan kondisi was-was musti siap mengantri sepanjang hari untuk mendapatkan bantuan darah di PMI. Demikian sepanjang hidupnya Olivia menjalani pengobatan. Biasanya setelah /therapy/ ia mengalami kerontokan rambut hingga botak sama sekali. Dengan fisik yang demikian Olivia tidak pernah merasa rendah diri. Ia tetap menjadi anak yang periang. Bahkan di sekolah ia termasuk salah satu murid yang memiliki prestasi yang cemerlang. Seluruh keluarga besar sangat menyayangi dan memberi perhatian penuh kepadanya. Saat ilmu kedokteran sudah angkat tangan dan hanya memberikan harapan kosong atas kesembuhannya, seluruh keluarga tidak berputus asa. Berbagai pengobatan alternatif dijalani. Pantangan-pantangan makanan selalu dituruti oleh gadis kecil ini. Obat-obatan dari berbagai bentuk dan rasa yang sungguh merusak indra pengecapan juga dilahap dengan pasrah.


Membawa kepada Kristus


Dalam kondisi demikian, Oliv kecil sungguh bergantung pada Tuhan Yesus. Setiap pagi saat jam dinding baru menunjukkan pukul 04.00, bagai jam weker Olivia membangunkan orangtuanya untuk mengajak doa pagi. Ketika melihat papanya bersedih hati, Olivia selalu berujar  Dengan polosnya Olivia berujar dan mengajarkan papanya “Dalam masalah apa pun kita harus selalu tersenyum.  Imannya kepada Yesus itu membuat ia boleh dibilang tak pernah mengeluh soal penyakit yang dideritanya. Ia bahkan tak pernah menangis karena penyakit itu.


Iman Olivia ini menghantarkan sang kakek, nenek, om, tante yang belum mengenal Kristus menjadi orang-orang percaya. Ketegaran Olivia membuat mereka semua merasakan bahwa Yesus sungguh ada bersama Olivia. Hal itu pula yang kemudian mendorong keluarga besarnya semakin berpasrah pada Yesus. Bahkan mereka kemudian terjun aktif dalam kegiatan rohani di lingkungannya. Sungguh inilah karya besar yang ditinggalkannya.


Bulan-bulan terakhir menjelang ajalnya ia menunjukkan kasihnya yang luar biasa kepada keluarganya, terutama kepada adik kecilnya. Ia berujar kepada sang mama  “Kan Oliv mau jadi peri yang baik hati”. Natal dan malam Tahun Baru 31 Desember 2008, meskipun menahan sakit kepala yang belakangan selalu menyerangnya, ia berusaha tetap ceria. Saat acara tukar kado bersama jemaat Gereja, ia juga masih selalu bercanda dengan semua orang. Beberapa hari kemudian, 4 Januari 2009, saat sakit kepala yang semakin parah dan disertai dengan muntah-muntah, keluarga memutuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Semakin lama kondisi fisiknya semakin parah. Tubuhnya bahkan sudah sulit untuk menerima asupan makanan. Hal yang ditakutkan pun terjadi. Hasil MRI menunjukkan sel kanker yang sudah membutakan mata kirinya telah menjalar sampai ke otak bahkan ke seluruh tubuhnya.


“Terimakasih Tuhan Yesus”


Setiap hari ia hanya bisa terbaring lemas dan tertidur. Saat ia terbangun, kesakitan yang sungguh luar biasa dialaminya. Ia hanya bisa berteriak,  “Aduh sakit, sakit sekali Tuhan…”.  Sang mama yang tidak kuat melihat penderitaan putrinya mengatakan, “Kalau sakit sekali, menangis saja Oliv,” tapi anak ini sungguh kuat. Dia tidak pernah mau menangisi kesakitannya. Orang tuanya kembali dikuatkan dan diajarkan untuk tetap tegar dalam segala masalah, walaupun itu tidak mengenakkan. Kesakitannya semakin memuncak, bahkan obat penahan sakit yang diberikan dokter sudah tidak bisa menghilangkan rasa sakit itu. Dua malam menjelang ajalnya, Oliv yang bulan Juli mendatang genap berumur 10 tahun berdoa penuh iman. “Terima kasih Tuhan atas kasih karuniaMu, Oliv percaya Oliv sudah sembuh, Oliv sudah dipulihkan. Tidak ada satu penyakit apa pun di badan Oliv, dari ujung rambut sampai ujung kaki Oliv, karena sudah Engkau tebus di kayu salib. Tuhan berkati Oliv, Tuhan ampuni semua dosa Oliv, terima kasih Tuhan, Haleluya, Amin…”  Sebuah doa yang sungguh indah dan penuh makna. Doa seorang anak yang sungguh mencintai dan mengimani Yesus.


Saat malam terakhir ia bahkan sempat meminta sang papa yang memang sangat dekat dengannya untuk memeluk, menurunkannya dari ranjang pasien dan memangkunya. Dia meminta kepada semua orang dan keluarga yang mengunjunginya untuk senantiasa berdoa dan mendoakannya sepanjang malam itu. Detik-detik maut semakin mendekatinya. Dalam kesakitan yang sudah tidak tertahan, kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya  “Sakit sekali ya Tuhan, Oliv sudah tidak tahan lagi…”  kemudian kepalanya jatuh terkulai sambil berucap  “Trima kasih Tuhan Yesus” . Kemudian ia sudah tidak sadarkan diri, tubuhnya mulai kejang-kejang. Saat sang papa membisikkan ke telinganya “Papa merelakan Oliv pergi, karena papa percaya di surga penuh damai sejahtera dari pada di dunia dengan menanggung penderitaan. Saat Oliv bertemu dengan Yesus dan Yesus ingin memegang tangan Oliv, segeralah sambut tangan-Nya. Selamat jalan Oliv kami semua merelakan Oliv.” Dalam kondisi yang sudah ‘koma’ Olivia meneteskan airmata.


Sesaat setelah itu, bergantian istri pendeta memegang tangan Oliv sambil membisikkan di telinganya, “Kalau Oliv sudah bertemu Tuhan Yesus, Oliv genggam kencang tangan tante yah..” Dalam keadaan ‘koma’ itu ia benar benar menggenggam tangan itu dan tak lama kemudian Oliv kecil pun pergi untuk selamanya dengan perlahan, tenang dan damai. Dua belas Januari 2009, pukul 15.45.


Tugasnya sudah selesai


Kedua orang tuanya tentu sedih dengan kepergiannya. Tapi mereka mengimani bahwa Olivia sudah bahagia di surga selamanya. Mereka berusaha menahan tetesan airmata dan merelakan kepergiannya. Mereka berusaha meneladani apa yang selalu dikatakan Olivia selama hidupnya, bahwa “Segala sesuatu ada waktunya; selalu tersenyumlah dalam segala hal; tetap kuat dan tegar dalam pergumulan; berserah dirilah kepada Tuhan Yesus, karena Dia akan memberikan jalan terbaik dan selalu mengasihi kita”.


Jasadnya sudah terbaring kaku, tapi ia terlihat seperti hanya tertidur. Semua pelayat yang melihat, memuji Olivia bagaikan peri kecil cantik yang tertidur pulas. Wajah dan kulitnya putih bersih. Bibir kecilnya menyunggingkan senyum kecil bahagia. Salah satu mata yang tadinya agak cekung karena sel kanker sudah menggerogoti dan membutakan mata kirinya bahkan terlihat normal kembali. Ia benar-benar seperti tertidur. Semua mengimani, saat ajal menjemputnya Tuhan terlebih dahulu memulihkan fisiknya. Keluarga besarnya juga mengimani bahwa Olivia adalah penolong yang diberikan Tuhan di tengah-tengah keluarga mereka. Melalui sakit yang dideritanya satu persatu anggota keluarga besarnya bertobat dan menerima Kristus. Tugas malaikat kecil ini sudah selesai, maka ia kembali dipanggil Bapa ke surga.


Bahkan saat pemakamannya, di tengah-tengah cuaca yang sepanjang hari dipenuhi hujan deras, ketika kebaktian pamakaman dimulai, dan ketika sang pemimpin Ibadat menyerukan “Semoga prosesi pemakaman ini diliputi dengan cuaca cerah… Tuhan, walaupun kami tidak dapat melihat dengan mata kami tapi kami yakin Tuhan hadir di tempat ini,” detik itu juga, gemuruh guntur berbunyi seakan langit menjawab. Dan hujan yang sepanjang hari menyelimuti bumi, seketika berhenti. Semua yang menghantar ke pemakaman ini dengan tertegun berujar dalam hati, “Sungguh ia benar-benar dikasihi Tuhan”.


Segalanya berjalan lancar, kepergian sang malaikat kecil bahkan didoakan dan dihantar oleh beratus-ratus pelayat. Walaupun Olivia sudah tidak ada di dunia, tapi karyanya dalam dunia sungguh selalu akan dikenang. Karena bukan diukur dari berapa lama kita tinggal di dunia, tetapi seberapa berartinya hidup yang kita jalani.


Selamat jalan Olivia, doa kami menyertaimu selalu. Dan kami percaya, engkau juga senantiasa mendoakan kami dari sana.


Source : sumbercerita.com

Mama


Los Felidas adalah nama sebuah jalan di ibu kota sebuah negara di Amerika Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh diseluruh kota. Ada sebuah kisah yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang orang.


Itu dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil. Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli di situ, melainkan dibawa oleh suaminya dari kampung halamannya.


Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk mereka, dan belum setahun mereka di kota itu, mereka kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu pagi mereka sadar bahwa mereka tidak tahu di mana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeserpun uang ada di kantong.


Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang berumur 1 tahun. Dalam keadaan panik dan putus asa, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya, dan akhirnya tiba di sebuah jalan sepi di mana puing-puing sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh.


Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang dingin. Ketika mereka beristirahat di bawah atap toko itu, sang suami berkata: “Saya harus meninggalkan kalian sekarang. Saya harus mendapatkan pekerjaan, apapun, kalau tidak malam nanti kita akan tidur di sini.”


Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak pernah kembali.


Tak seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika.


Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan suaminya, dan bila malam tidur di emperan toko itu.


Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu, orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, dan jadilah mereka pengemis di sana selama 6 bulan berikutnya.


Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja. Masalahnya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya, yang kini sudah hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik jelita. Tampaknya tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu di situ dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan mereka.


Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya, agar ia tidak ke mana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau menawarkan gula-gula. Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak di tempat.


“Dalam beberapa hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak lagi tidur dengan angin di rambut kita”.


Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus di mana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, dan membaringkan anaknya dengan hati-hati di dalamnya. Di sebelahnya ia meletakkan sepotong roti. Kemudian, dengan mata basah ibu itu menuju ke pabrik sepatu, di mana ia bekerja sebagai pemotong kulit.


Begitulah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga di kantong sang Ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh. Dengan suka cita ia menuju ke penginapan orang-orang miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya.


Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota.


Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya, menyisir rambutnya dan membawanya ke sebuah rumah mewah di pusat kota. Di situ gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun.


Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan mereka memanjakannya dengan amat sangat. Di tengah-tengah kemewahan istana itulah gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano. Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas, dan mengendarai Mercedes Benz ke manapun ia pergi.


Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya, dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat.


Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain piano, yang aktif di gereja, dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah figur gadis yang menjadi impian tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang welas asih, yang bernama Geraldo.


Setahun setelah perkawinan mereka, ayahnya wafat, dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real-estate sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di kota itu. Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang merubah kehidupan wanita itu. Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan di laci meja kerja ayahnya ia melihat selembar foto seorang anak bayi yang digendong sepasang suami istri. Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam. Sesuatu ditelinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang.


Ia mengambil kaca pembesar dan mengkonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian ia membuka lemarinya sendiri, dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-sura pribadi. Tapi di antara benda-benda mewah itu terdapat sesuatu terbungkus kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan emas murni. Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan untuk tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu anting-anting, di mana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting-anting itu di dekat foto.


Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang. Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya, yang tersenyum dibuat-buat, belum penah dilihatnya sama sekali.


Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan-pertanyaannya, misalnya: kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya.


Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam, berkilat di benaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dinginnya sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu. Ia seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama.


Matanya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri suaminya yang sedang membaca koran: “Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkinkah ibu saya masih ada di jalan sekarang setelah 25 tahun?”


Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu Serrafonna. Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian di seluruh negeri. Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor surat kabar dan kantor catatan sipil. Ia membentuk yayasan-yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang jompo dan badan-badan sosial di seluruh negeri dan mencari data tentang seorang wanita.


Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu di negeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencarian mereka. Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik. Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad.


Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian.


Pagi, siang dan sore ia berdoa: “Tuhan, ijinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup saya: temukan saya dengan ibu saya”.


Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka terbang ke tempat itu, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka. Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto. Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu.


Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan di mana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu sejumlah uang, dan malam itu juga mereka mengunjungi kota di mana Serrafonna diculik.


Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur. Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya.


Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka. “Tuhan maha kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak banyak lagi.”


Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran kota yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah di sepanjang jalan itu tua-tua dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main ditepi jalan. Dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil, kemudian masih belok lagi kejalanan berikutnya yang lebih kecil lagi.


Semakin lama mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan. Tubuh Serrrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu. “Lekas, Serrafonna, mama menunggumu, sayang”. Ia mulai berdoa, “Tuhan, beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa saja”.


Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: “Tuhan beri saya sebulan saja”.


Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka. Ia mendengar lagi panggilan mamanya, dan ia mulai menangis: “Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan.”


Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas. Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung ke ujung. Di tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak.


Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya dan 3 mobil polisi. Di belakang mereka sebuah ambulans berhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul pengemis-pengemis yang segera memenuhi tempat itu.


“Belum bergerak dari tadi.” lapor salah seorang. Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun. Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya. “Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu.”


Serrafona memandang tembok dihadapannya, dan ingat saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kakinya dan ingat ketika ia belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkannya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.


“Tuhan”, ia meminta dengan seluruh jiwa raganya, “beri kami sehari, Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberitahunya bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia. Jadi mama tidak menyia-nyiakan saya”.


Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu kedadanya. Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia masih muda.


“Mama….”, ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang ditunggunya tiap malam – antara waras dan tidak – dan tiap hari – antara sadar dan tidak – kini menjadi kenyataan. Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas.


Perlahan ia membuka genggaman tangannya, tampak sebentuk anting-anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk, dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di dada mamanya.


“Mama, saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari. Mama jangan pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa kita lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita bicarakan. Mama jangan pergi dulu… Mama…”


Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: “Tuhan maha pengasih dan pemberi, Tuhan….. satu jam saja…. …satu jam saja…..”


Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia


Source : AkuPercaya.com

Minggu, 11 Maret 2012

Petaka Petang Hari Di Bayeman


Thursday, 22 January 2009 13:44
Kesaksian Sutjahyo Halim


PERJALANAN kembali dari Pasirian, Lumajang, semula lancar-lancar saja. Hari itu, Rabu 23 Mei 2007, Sutjahyo Halim dan dua orang kemenakannya, Roy dan Mulyono, pagi hari menuju kota kecamatan Pasirian kabupaten Lumajang (Jatim) untuk melakukan pelayanan holistic serta meninjau renovasi Sekolah Dasar Pasirian di kota itu.

“ Pada saat kami berangkat ke Lumajang, kami tidak mempunyai firasat apa-apa. Berlangsung seperti yang biasanya.” Begitu kenangannya kembali peristiwa saat itu, karena setiap bulan ke Lumajang untuk keperluan yang sama.

Sekembali dari memberikan pelayanan, Sutjahyo Halim langsung mengajak kembali ke Surabaya. Di dalam mobil Panther-nya, dia duduk di bangku tengah. Roy yang memegang kemudi, di sebelahnya duduk Mulyono.

Karena sudah menjelang petang hari, mobil dilarikan dengan kecepatan cukup. Keluar dari kota Probolinggo ke arah kota Pasuruan, waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 wib.

Mobil itu
January 2009 13:44
melaju menuju arah Surabaya setelah meninggalkan Probolinggo memasuki kawasan kecamatan Bayeman. Sepanjang jalan boleh dikata sepi, karena hanya satu dua mobil yang berpapasan. Di sekitar, sepanjang mata memandang ke kanan dan kiri, kebun tebu yang tumbuh lebat. Karena itu, laju mobil dipercepat.

Tiba-tiba dari tepian jalan, seorang tua sambil membawa keranjang berisi rumput, menyeberang dengan berlari. Jarak antara orang itu dengan mobil begitu dekatnya, sehingga meskipun pedal rem diinjak dalam-dalam dan bunyi ban yang dihentikan mendadak memecah kesunyian, namun lelaki tua dengan keranjang dan rumputnya itu tidak terhindarkan dari tertabrak. Tubuh orang dan keranjangnya itu terpental ke kaca depan hingga pecah berantakan.

Kekagetan luar biasa dari semua penumpangnya, mereka turun. Kap depan mobil penyok oleh hempasan tubuh orang itu. Terlebih menakutkan lagi, banyak orang bermunculan menuju mobil itu. Orang-orang itu muncul dari kiri jalan. Bukannya untuk menolong korban, tetapi justru melempari mobil.

Demi menyelamatkan diri, Halim memerintahkan untuk segera menjalankan mobilnya guna mencari Pos Polisi terdekat dengan kejadian, karena tidak ingin mengalami hal yang jauh lebih buruk atau tindakan kekerasan.

Setelah berjalan kurang lebih 8 menit, mereka melihat Pos Polisi di Bayeman dan segera melaporkan kecelakaan itu. Mereka diterima dengan baik oleh seorang anggota Kepolisian, yang bertanya kepada Halim:

“Berapa orang yang mati, pak?”

“Seorang!” jawab Halim terus-terang. Sebab, dari yang dialaminya, yang ditabrak itu hanya seorang.

Mujizat pun Terjadi

Roy dan Mulyono menghubungi kenalannya bernama ‘pak Tik’ di kota Pasuruan, untuk minta bantuan menghadapi musibah itu. Pak Tik itulah kemudian menghubungi kerabatnya yang bernama “Picok” (Peacock = burung merak) yang tinggal di Probolinggo untuk membantu.

Sedangkan pada saat itu, battery-indicator yang ada di ponselnya tinggal 2 strip. Begitu pula milik Roy dan Mulyono. Untuk menghubungi keluarga di Surabaya, tidak mungkin dengan hanya sisa kekuatan battery yang tinggal dua strip itu, sebab untuk menjangkau jarak yang jauh itu membutuhkan frekuensi yang tinggi.

Sejak musibah tersebut, yang bisa dilakukan oleh Halim hanyalah berserah kepada Tuhan. Dalam doanya dia bermohon: “Tolonglah hambaMu ini. Sebab kepada siapa lagi hambaMu ini berharap?!”.

Dia belum bisa berpikiran jernih dan berdasarkan penalaran. Apakah masih ada perumput yang mencari rumput hingga pukul 7 malam? Pendapat itu juga diucapkan oleh Roy, yang malahan berpendapat, kalau sebagai hal yang di luar kewajaran. Tetapi bagi Halim, kesemuanya diserahkan ke tangan Tuhan. Kalaulah peristiwa itu di luar nalar manusia, biarlah Tuhan yang ikut campur tangan.

Ternyata setelah dicobanya, kekuatan battery itu tidak habis. Malahan sesampainya di Surabaya pada menjelang pagi hari, battery itu masih bertahan.

Dengan demikian dia dapat melakukan hubungan melalui ponselnya. Setelah beberapa kali menghubungi kerabatnya untuk membantu, maka tiba-tiba muncul suatu pertolongan dari seorang kenalan, seseorang yang “cukup berpengaruh” di daerah Pasuruan. Namanya ialah bapak Pea Cok. Saat itu dalam hati Halim bertanya-tanya, siapa orang itu. Akan tetapi, nampak kesemuanya sudah diatur oleh Tuhan. Justru dalam pertemuan antara pihak Kepolisian, Pea Cok dan Halim, permasalahan yang dihadapi itu dapat diurus secara baik.

Mana Korban dan Penduduknya?

Malam itu juga, penyelidikan dilakukan oleh petugas dengan didampingi oleh pak Peacok, sedangkan Halim dan kedua kemenakannya menunggu di pos Polisi. Anggota Kepolisian itu bersama pak Picok kemudian menuju lokasi kecelakaan sebagaimana yang dilaporkan.

Sesampainya di jalan yang diapit kebun tebu itu, pihak Polisi dan kesemuanya saling bertanya-tanya, sebab tidak ada bekas sama sekali di daerah tersebut. Tempat itu bersih dari sisa –sisa rumput ataupun batu yang digunakan oleh orang-orang yang melempari mobilnya. Yang lebih mengherankan, tidak ditemukan lelaki tua pembawa keranjang rumput yang tertabrak itu. Seperti tidak pernah terjadi kecelakaan di tempat itu.

“Hal itu yang benar-benar membuat kami menjadi penasaran.” Kilas balik ingatan Halim seperti yang dikisahkan kepada Tabloid.

Rombongan itu kemudian melakukan checking ke rumah sakit, puskesmas dan balai desa di sekitar Bayeman. Tetapi tidak ada seorang pun korban kecelakaan yang dibawa ke sana. Malahan di Balai Desa setempat, tidak tahu menahu ada orang-orang atau penduduk desa yang berada di sana dan melempari batu seperti yang dialami Halim dan kedua kemenakannya.

Mereka kemudian kembali ke Pos Polisi. Isi laporannya nihil. Tidak ada korban, tidak bekas kejadian. Pendek kata, apa yang kesemua yang dilaporkan tidak ditemukan.

“ Saya masih merasa ragu-raghu” kisah Halim. Sambungnya: “Setelah menunggu beberapa saat, saya punya inisiatif untuk meminta pihak yang berwajib kembali lagi guna mengolah tempat kejadian untuk yang kedua kalinya. Lagi-lagi tidak ditemukan korban maupun tempat kejadiaannya.”

Yang mengagetkan Halim dan kedua kemenakannya, ialah keterangan pihak kepolisian setempat, bahwa ‘gambaran’ tentang lokasi kejadian itu ternyata tidak sama seperti apa yang terasa, dilihat maupun dialami ketiga penumpang mobil itu.

“Jika pada saat itu saya melihat perkampungan dan banyak orang, maka dari pihak kepolisian menyatakan, kalau tempat tersebut hanyalah lahan perkebunan tebu di sepanjang kanan-kiri jalan. Tidak ada rumah sama sekali!” katanya.

Sebab itulah dia bertanya-tanya, mengapa keadaan mobilnya dan juga terdapat bekas lemparan batu.

“ Hal itu yang menjadikan saya tak habis pikir. Akan tetapi, semuanya saya serahkan kepada Tuhan Yesus Kristus saja.”

Tidak hanya itu. Pihak kepolisian setempat mengatakan, bahwa beberapa tahun silam, pernah terjadi peristiwa yang sama dan di tempat yang sama. Korbannya pun tidak ditemukan.

“Atas kejadian itu, maka saya berkesimpulan, bahwa ‘keberadaan mereka’ itu memang ada. Yakni orang-orang itu, perkampungannya juga ada. Hanya saja, semuanya kasat mata, atau tidak terselami oleh pikiran dan penglihatan kita.” Begitu pendapat Halim.

Sampai dengan dilakukannya wawancara oleh Tabloid (3 Juni 2007), tidak ada pemberitahuan dari pihak Kepolisian Pasuruan atau Probolinggo mengenai keberadaan “korban” maupun “penduduk desa” di perkebunan tebu Bayeman. Sementara itu, mobil Halim yang penyok kapnya dan kaca depannya hancur, sudah diperbaiki.

“Sayang, tidak sempat kami abadikan sebagai bukti. Tetapi, biarlah ini menjadi pengalaman tersendiri bagi kami. Apa yang tidak bisa kami pikirkan, kesemuanya kami serahkan ke dalam tangan Kuasa Tuhan Yesus Kristus.” 

Selasa, 06 Maret 2012

Kerudung Yang Terkoyak Bag 15



PENUTUP

Dari Rawalindi saya menjelajah ke seluruh Pakistan, berbicara di geraja-gereja dan konperensi-konperensi, begitu juga melakukan pelayanan pribdi pada orang-orang membutuhkan, baik fisik maupun rohani.

Pada bulan Oktober 1977 saya pergi ke Lahore dan perjalanan ini merupakan jawaban doa dari suami-istri anggota Gereja Methodist di Canal Park yang menyurati saya mengatakan bahwa anak lelaki mereka sakit. "Datanglah dan berdoa untuknya," tulis saudara James. Saya datang berdoa selama dalam perjalanan. Ketika saya tiba disana anak lelaki itu telah dibawa kembali kerumahnya dari United Christian Hospital, berangsur-angsur sembuh tapi masih lemah. Lalu Saudara James dan istrinya meminta saya tinggal dengan mereka. Anak-anaknya 5 perempuan dan 5 lelaki dan mereka meminta bantuanku dalam pendidikan rohani anak-anaknya. Akhirnya disepakati bahwa saya akan tinggal bersama mereka, tapi bila diperlukan untuk menghadiri pertemuan/konperensi kemanapun di Pakistan, saya bebas untuk pergi.

Selama tahun-tahun ini saya hidup dengan iman. Tuhan mencukupkan kebutuhan-kebutuhanku sedemikian limpahnya sehingga orang-orang lain bertanya-tanya apakah ada misi luar negeri yang menyokong saya. Saya berusaha menjelaskan pada mereka bahwa kekayaan-kekayaan surgawi merupakan milik kita bila kita mau percaya kepada Allah sepenuhnya. "Saya telah memepersembahkan kepada Allah semuanya -keluarga, rumah, uang, reputasi - dan mempercayakan kepadaNya segala keperluanku.

Ketika saya masih di Rawalindi, Anis sampai pada bagian akhir hidupnya di dunia.Kakak perempuanku itu didorong oleh tantangan keluarga untuk tetap sebagai seorang percaya secara sembunyi-sembunyi, meninggal pada tanggal 14 Maret 1977. Saya ada bersamanya waktu dia meninggal, memberikan penguburan padanya. Saya tahu bahwa ia telah menempatkan tangannya pada tangan pribadi yang Memakai Mahkota di puncak tangga dan mengundang Dia untuk memimpin hidupnya kedalam Hadirat Allah.

Kedua anak perempuan Anis masing-masing berusia 15 dan 16 tahun tinggal bersama pamannya setelahnya karena ayahnya kelihatannya tidak mau menjaga mereka. Beberapa bulan kemudian saya mendapat surat dari keponakan-keponakanku meminta padaku apakah mereka bisa datang dan tinggal bersamaku, karena mereka tidak merasa bahagia. Jadi di bulan Oktober saya mengambil alih pengawasan atas kedua keponakanku lalu mereka pindah dan tinggal bersamaku dirumahnya keluargaJames.

Terlalu banyak anak perempuan tinggal serumah dan diwaktu itulah saya berdoa untuk memintaan sebuah rumah bagiku dan tidak menggantungkan diri pada seorang pun kecuali Allah. Saya menempatkan kedua gadis itu ke sebuah sekolah khusus untuk para gadis (semacam biara), karena sulit bagiku untuk meninggalkan kedua keponakanku dalam rumah orang lain bila saya sedang melakukan perjalanan. Sekolah tersebut dikelola oleh beberapa suster dan suasana di sana baik bagi gadis-gadis.

Allah menggerakkan beberapa kawan-kawan di Karachi untuk melakukan sesuatu tentang keadaanku yang tidak mempunyai rumah. Mereka merasa bahwa sudah waktunya bagiku untuk mempunyai rumah sendiri dan tidak dapat tinggal dengan orang lain untuk seterusnya. Jadi mereka mengumpulkan dana dan ditambahkan dengan uang tabunganku cukup untuk mendapatkan sebuah rumah kecil. Betapa senangnya untuk dapat pulang ke tempat milik pribadi bagi seseorang bila selesai dari serentetan pertemuan penginjilan yang melelahkan di tempat-tempat yang jauh.

Ketika saya menerima rumah pribadiku pada musim panas tahun 1978, keponakan-keponakanku datang dan tinggal bersamaku. Tapi tidak semuanya berjalan lancar. Saya didakwa di pengadilan atas beberapa tuduhan palsu. Saya memberi penjelasandi pengadilan bahwa dulunya saya seorang yang lumpuh dan telah disembuhkan olehTuhan Yesus. Ia bertanya padaku apakah ada seorang dari keluargaku yang akan menjadi saksi untuk ini. Seorang anggota keluargaku datang ke pengadilan untuk keperluan ini dan membenarkan tentang kisah penyembuhanku serta menceriterakan tentang kelakuanku yang baik. Perkara yang dituduhkan padaku itu dibatalkan. Keponakan-keponakanku tidak dapat tinggal lebih lama dengan saya, namun Allah begitu baik padaku dan memberikan dua anak angkat perempuan yang manis,seorang anak lelaki beserta kakek mereka, sehingga saya tidak sendirian di dunia ini.

Dua bulan kemudian sesudah ini, di bulan Juli 1981, saya ke Karachi tinggal bersama seorang kawan di Akhtar Colony, dekat dengan gereja Methodis, ketika saya didekati seorang perawat muda Patricia untuk mengunjungi adik perempuannya Freda, seorang perawat di Rumah Sakit Jinnah. Yang ditakutinya, adiknya dikuasai oleh roh jahat. Katanya, "Adik perempuanku sedang sakit. Ia berteriak-teriak dan ketika roh itu datang dia mulai berteriak-teriak dan mulai memukul-mukul orang."

Saya menyetujui permintaannya dan kami memakai rickshaw ke rumah sakit, suasana lembab dan menyesakkan napas - tapi hal itu bukan hanya disebabkan oleh udara panas. Freda berdiri disana, muda, pemalu, kepalanya menunduk. Ia mengenakan pakaian non dinasnya ‘shalwar kameeze’ dan ‘dopatta’. Seringkali ia mengangkat matanya untuk menatapku dengan pandangan tetap dan saya tidak melihat suatu ekspresi di dalamnya.

Dengan lembut Patricia berkata kepada adiknya, "Ba-ji, ini Sister Gulshan. Beliau datang untuk berdoa bagimu." Tidak ada jawaban dari perawat muda itu. Ia berdiri tidak bergerak-gerak untuk sekejap, lalu tiba-tiba minta diri dan meninggalkan runganitu ke kamar mandi disebelah bawah ruangan itu. Sesudah 15 menit ia pergi, kawankuberkata, "Ia sudah terlalu lama pergi. Saya akan mencarinya."

Ia kembali menarik-narik adiknya yang enggan itu dengan tangannya. Freda duduk diatas permadani dan saya duduk diatas lengan kursi, meragkulnya agar duduk didekatku di lantai. Lalu saya menumpangkan tanganku keatas kepalanya, membuka Alkitabku Mazmur 91 dan membaca dengan nyaring, "Orang yang duduk dalam Lindungan Yang Maha Tinggi dan bermalam dalam naungan Yang Maha Kuasa akan berkata kepada Tuhan, "Tempat perlindunganku dan kubu pertahananku, Allahku yang kupercayai, sungguh, Dialah yang akan melepaskan engkau dari jerat penangkap burung, dari penyakit sampar yang busuk. Dengan kepakNya ia akan melindungi engkau, dibawah sayapNya engkau akan berlindung, kesetiaannya ialah perisai dan pagar tembok."

Sampai disini gadis itu mengatupkan matanya. Sambil tetap menumpangkan tanganku di atas kepalanya saya berkata, "Saya perintahkan engkau, hai roh jahat, di dalam nama Tuhan Yesus Kristus keluar dari gadis ini."

Mendengar ini gadis itu berteriak-teriak, "Lepaskan saya! Saya sedang terbakar!"

Saya berkata, "Lebih baik bagimu kalau engkau terbakar daripada membiarkan si-jahat itu membakarmu."

Kemudian roh jahat itu berkata dan suaranya berbeda dengan suara gadis itu yang lebih halus, "Aku akan pergi, Lepaskan aku. Aku tidak akan kembali."
Gadis itu jatuh kelantai sewaktu roh jahat itu meninggalkannya dan ia terbujur disana tidak bergerak-gerak, badannya menjadi lemas. Setelah 10 menit Patricia membantunya berdiri. Ia membuka matanya dan meminta air minum. Setelah minum,saya memintanya datang duduk disampingku lagi. Kali ini ia membaringkan kepalanya di lututku dan berkata, "Tolong doakan saya lebih banyak lagi. Saya merasa lebih ringan sekarang.

"Saya memintanya mengulangi doa ini, "Terima kasih Tuhan karena saya telah dibebaskan dan sekarang saya menyerahkan hidupku padaMu. Ambillah dan pakailah saya seturut kehendakMu serta berilah saya kekuatan untuk mengiringMu dan tetap setia."

Kami duduk sampai jam 7 malam ketika makin banyak lagi perawat datang ke ruangan itu. Mereka diberitahu tentang apa yang telah terjadi dan mereka mulai mengutarakan masalah-masalahnya masing-masing, meminta saya mendoakan mereka. Seorang dari antaranya akan menempuh ujian yang ditakutinya. Yang lain mengalami kesulitan dibangsal rumah sakit. Yang ketiga orang-orang tuanya di rumah sedang sakit. Jadi saya berdoa untuk mereka.

Harus kukatakan bahwa selama sore dan malam yang panjang ini kami telah makan siang dan minum teh di ruangan itu. Hari itu penuh dengan kegiatan dan ingatan kami rasanya bertambah - dengan cita-rasa lobak cina, potongan-potongan daging sapi,chapatti dan pisang yang kami makan.

Ketika tiba waktu pulang, Patricia dan saya menggunakan rickshaw kembali ke Akhtar Colony dimana saya menumpang bersama seorang kawan lain. Saya memiliki foto kedua bersaudari yang cantik itu untuk dikenangkan. Mereka benar-benar gadis-gadisyang cantik dan kini mereka bersaksi bagi Yesus dirumah sakit itu.

Tuhan telah memakai saya dalam menyembuhkan situasi-situasi dimana orang-orang saling bertengkar satu sama lain. Saya mengira bahwa saya telah sangat salah mengerti terhadap diriku sendiri sehingga saya dapat merasakan apakah suatu nyala api dapat disuluti dengan satu perkataan yang benar atau suatu pikiran dengki.

Karena tidak ada satu gereja yang menopangku maka kami menyerahkan kepada Tuhan untuk memenuhi semua kebutuhan kami. Kadang-kadang kami bangun di pagi hari tanpa ada makanan sama sekali dirumah. Namun ada hari-hari dimana kami semua memutuskan sebagian karena memang perlu, bahwa hari itu adalah hari puasa.

Pada keadaan-keadaan ini kami makin dekat kepada Allah. Dialah Bapa Kami. Dia mengetahui apa yang terbaik dan Dia tidak pernah mengecewakan kita, hanyalah selama suatu waktu menguji kita.

Dalam kemiskinanku, orang-orang ditarik ke padaku. Orang-orang datang, berjalan berkilo-kilometer tanpa ongkos bus untuk pulang dan kami sadari bahwa kami masing-masing memberikan dari kekurangan kami. Mereka datang meminta bantuan rohani tapi bagaimana kami dapat membiarkannya pergi tanpa memenuhi kebutuhan fisiknya
juga. "Kamu menerima dengan cuma-cuma, berilah juga dengan cuma-cuma."

Saya dipanggil ke sisi pembaringan seorang pria yang telah datang dari Inggris yang diserang penyakit Disentri amuba serta ada pembengkakan (Cyst). Kejadiannya dibulan Januari 1981. Saya berdoa untuknya dan menumpangkan tanganku padanya dan ia disembuhkan. Hasilnya ialah saya diundang ke Inggris dan Kanada memberitakan Injil kepada kelompok-kelompok orang-orang Asia dan Inggris.

Yang paling ditakuti bibiku dulu ketika untuk pertama kalinya saya memberi kesaksian tentang penyembuhanku oleh Yesus ialah bahwa saya harus pergi ke Inggris. Nah.....inilah saya, mengenangkan kembali seluruh perjalanan yang telah di pimpin oleh Bapaku disurga bagiku untuk menjalani sejak pertama kali saya percaya padaNya.

Saya dapat melihat bahwa perjalanan ibadah haji yang saya laksanakan bersama ayahku merupakan awal kerinduan jiwaku untuk mengenal Allah. Proses ini menimbulkan harapan, yang walaupun masih mengecewakan waktu di Mekkah, telah memberikan dorongan dalam diriku terutama sesudah kematian ayahku untuk mencari Allah dalam suatu dorongan perasaan yang kuat dan mendesak serta nekad. Saya menadahkan tanganku memohon kepada Yesus si Penyembuh - tanpa mengetahui apa-apa tentang Dia, kecuali sedikit yang saya baca di dalam Al Qur-an - dan saya disembuhkanNya. Sekarang, saya adalah seoran saksi tentang Kuasa Allah untuk mecapai saudara-saudaraku dan orang-orang yang tersembunyi di belakang kerudung Islam. Kerudung itu dapat dikoyakkan sehingga meraka dapat memandang Yesus, mendengarkanNya dan mencintaiNya. Sekarang ini saya tidak memerlukan lagi kelima rukun Islam untuk menopang Imanku. "Kesaksian" ku ialah untuk Yesus, yang disalibkan, mati dan dikuburkan kemudian bangkit dari antara orang mati kedalam Hidup Yang Kekal dan kini hidup di dalam UmatNya.

Sembahyang (Namaz)ku tidak lagi kepada satu Allah yang tidak dapat saya kenal tetapi kepada Satu ceriteraNya dapat saya baca didalam FirmanNya sendiri, Alkitab hartaku yang paling berharga, yang ditulis didalam loh hati dan pikiranku,sebagaimana dulunya Al Qur-an bagiku.

Persembahan (Zakat)ku tidak lagi merupakan sesuatu bagian melainkan adalah seluruh pendapatanku, karena segala sesuatu yang saya miliki adalah milik Allah. Kekayaanku disimpan di atas di surga. Puasakaku tidak saya lakukan pada bulanRamadhan untuk mendamaikan hatiku dengan Allah sehingga saya mungkin mendapatkan keyakinan untuk ke Surga, namun saya lakukan dengan sukacita sehingga saya lebih dapat mengenalNya.

Ibadah Haji-ku ialah perjalanan sepanjang hidup ini. Tiap hari membawa saya makin dekat kepada tujuan - untuk bersama Yesus, Raja Surgawi-ku selamanya. Darah sapi,domba atau kambing tidak akan pernah dapat menghapuskan dosa, tapi kita dapat masuk ke dalam tempat Yang Maha Kudus dan diterima secara sempurna melalui satu jalan dan hidup yang baru, "Melalui Kerudung itu" ialah: DagingNya. Karena Pribadi ini (Yesus) ketika Ia Membawakan Satu Pengorbanan bagi dosa untuk selama-lamanya,duduk di sebelah kanan Allah Bapa (Ibrani 10:12). Itulah YESUS, ANAK DOMBA ALLAH, NABI dan IMAM, RAJA segala RAJA, Tuhanku dan Allahku.    




========Selesai=======




 

To you , with love Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang